Zizan masuk ke sebuah kamar. Kamar itu dibagi menjadi beberapa ruangan yang hanya dipisahkan dengan tirai hitam. Ruangan yang dimasuki Zizan pertama adalah ruangan bernuansa merah, efek dari sinar lampu ruangan tersebut. Hanya sedikit foto yang digantung di sepanjang tali di bagian atas ruangan dan di bawahnya ada kotak-kotak berisi cairan dan segala macam tetek-bengek alat pencetak foto manual.
“Kamar ini, adalah tempat favoritnya. Segala macam isinya, semuanya.” Xavi membuka suara dengan nada sedih. Inilah tempat favorit sahabatnya yang sekarang sedang terbaring koma di rumah sakit.
Zizan tetap berjalan dalam diam mengitari isi kamar tanpa menanggapi ucapan Xavi. Masuk ke dalam ruangan terakhir di pojok kamar, Zizan berhenti. Ia terkejut degan apa yang dilihatnya, gambar-gambar dan foto-foto yang memenuhi dinding ruangan itu adalah gambar dan foto dirinya dalam berbagai
Membaca itu Zizan jatuh terduduk, menundukan kepala, merenungkan kebodohannya selama ini.
***
JKREK!
“Satu foto pertama sebelum pertandingan pertamamu, Bro.”
“Foto jepretan pertamamu juga dengan SLR barumu, Queen.”
Zizan akan mengikuti pertandingan sepakbola pertamanya di SMA Trastiverra. Dan Queen mendampinginya karena ingin mendokumentasikan momen sejarah Zizan, sekalian mencoba SLR barunya.
Zizan menyukai sepakbola sejak SD, karena itu dia sangat tertarik mengikuti pertandingan formal pertamanya. Queen menyukai fotografi sejak pertama kali ia memegang kamera digital ayahnya sewaktu SMP. Dia ingin menjadikan pertandingan Zizan sebagai objek foto SLR pertamanya.
Sebenarnya diam-diam Queen menyukai Zizan yang sebenarnya tidak punya keunggulan dalam tampang, tapi memang kepribadian Zizan yang Queen sukai. Suka olahraga dan ramah. Buktinya Zizan tidak sungkan berteman dengan Queen si nerdy yang tidak pernah bisa berdandan.
Tapi, Queen juga tidak pernah menyadari, sebenarnya dia itu gadis cantik dan pintar yang pantas untuk Zizan. Perasaannya hanya ia pendam dalam hati, karena selama bisa mendukung dan berada di dekat Zizan, ia sudah merasa bahagia.
“Zizan! Semangat ya! Aku tunggu di tribune penonton!”
“Yaaa, foto yang bagus ya!” Zizan berlari menjauh karena sebentar lagi pertandingannya akan dimulai.
“Harus menang!” teriakan Queen hanya dibalas dengan lambaian tangan Zizan yang mulai menjauh. Queen tersenyum seperti biasa, karena perasaannya yang membuncah senang masih bisa mendukung Zizan.
“Ehem!”
“Hei, Xavi! Bikin kaget aja.”
Xavi adalah sahabat Queen sejak kecil yang menemani Queen bermain, karena masa kecil Queen yang tidak pernah punya teman. Queen paling payah dalam bermain, itu disebabkan oleh matanya yang rabun, karena sejak lahir saraf mata Queen lemah dan rentan dengan fokus penuh. Sekarang saja Queen harus rutin kontrol pada dokter mata-nya. Akhirnya tersisa Xavi yang selalu menemani dan menyayangi Queen seperti adiknya sendiri.
“Langsung penuh nih kayaknya film SLR pertama.” Xavi duduk di samping Queen yang fokus memegangi SLR nya.
“Apaan sih godain mulu, diem deh, beli popcorn
“Tau deh, yang setia banget nyuport Zizan dari kursi penonton, ekhem!” Xavi mengambil langkah seribu sebelum disemprot dengan ocehan Queen.
“Apaan sih!”
Tanpa disadari Queen, kedua belah pipinya merona merah. Nada terganggunya tergantikan dengan senyum yang malu-malu merekah dari bibirnya.
***
Seiring dengan keaktifan Zizan di ekskul sepakbola dan permainannya yang cantik, ia sering ikut tim Trastiverra untuk bertanding di sana-sini. Queen tidak lupa menyempatkan diri untuk mendokumentasikannya. Sekarang sudah berjalan setengah tahun Queen selalu ikut Zizan bertanding atau sekedar latihan. Selama setengah tahun juga perasaan Queen tidak pernah berubah dan tidak pernah ia ungkapkan. Selama setengah tahun juga Zizan hanya menganggap Queen sebagai teman dekatnya.
Queen membawa soal-soal Sukses SNMPTN ke tempat latihan Zizan, karena tahun ini ia dan juga Zizan akan mengikuti ujian kelulusan. Namun Zizan berencana untuk tetap fokus terhadap cita-citanya menjadi pemain sepakbola terbaik, jadi kemungkinan ia akan mengambil kuliah khusus para atlet.
“Serius banget ngerjain soalnya, Queen.” Tiba-tiba Zizan datang menghampiri Queen yang duduk di kursi pinggir lapangan, masih fokus dengan apa yang dibacanya. Tapi, tentu saja sekarang tidak lagi fokus karena kehadiran Zizan.
“Eh Zizan, lagi break ya latihannya? Iya nih, nilaiku harus dapet bagus biar bisa masuk Universitas Negri, jadi harus banyak-banyak latihan juga.”
“Dasar kutubuku.” Zizan ikut duduk di samping Queen, badannya penuh dengan peluh hasil latihan untuk Turnamen Nasional minggu depan. Sisa nafas Zizan yang terengah-engah kelelahan terdengar jelas oleh Queen.
“Yang penting pinter. Nih minum dulu.” Queen mengeluarkan sebotol air mineral dan handuk kecil kemudian diberikan kepada Zizan.
“Thanks.”
Lalu Queen kembali fokus dengan soal-soal Sukses UAN yang dibawanya sementara Zizan meminum habis air mineral botol yang diberikan Queen.
“Aaah .. jangan belajar mulu doong Queen ngga seru nih–”
“Kan biasanya aku udah sering nontonin kamu latihan, Zan. Neriakin, bawain anduk sama minum, tadi aku juga udah fotoin kamu banyak–”
“Kok ngomongnya kayak capek
“Andai kamu tau, Zan. Ini semua bukan untuk aku, tapi Mama. Sedangkan aku ngga mau ngga nemenin kamu. Gimana caranya kalau ngga kebagi dua gini?” tanpa terasa jatuh lah titik demi titik air kesedihan dan kelelahan Queen yang mulai membasahi kertas-kertas tipis berisi banyak coretan yang ada dipangkuannya. Di saat seperti ini, hanya Xavi yang bisa menghiburnya tapi Xavi sudah lebih dulu pergi untuk mempersiapkan kuliahnya di luar negri, karena beasiswa atas kecerdasannya.
Sedari pertama, Zizan memang terbiasa ditemani Queen, sedangkan Zizan tidak pernah memikirkan hal mengenai apapun tentang Queen. Yang dia tau hanyalah Queen temannya yang selalu mendukungnya dengan senyum ceria. Tapi pada kenyataanya, kini penderitaan Queen semakin menjadi. Semakin sulit menyadarkan Zizan dari perasaan Queen yang tersembunyi dalam-dalam.
“Sudah terlalu jauh, Queen.” lalu Queen menghapus airmatanya, menarik nafas dalam dan mulai mengerjakan soal-soal kembali.
***
“Harus dateng pokoknya besok di Stadion Senayan. Awas kalo ngga! Aku udah siapin tiket VVIP nih.” Zizan dan Queen berjalan di lorong sekolah menuju kelas mereka. Besok adalah hari besar untuk Zizan, karena ia akan mengikuti Turnamen Sepakbola Nasional. Dan sudah menjadi kewajiban Queen untuk datang seperti biasa, karena tidak bisa dipungkiri namun tidak dia sadari, yang membuat Zizan selalu bersemangat adalah Queen.
“Iya, iya. Dateng kok.”
“Lemes banget kamu, Queen. Kalo mau dukung aku, kamu harus semangat!”
Queen yang mulai kurus dan pucat karena penyakitnya, memaksa untuk bersemangat demi Zizan. Mungkin besok adalah waktu terakhirnya untuk mendokumentasikan pertandingan-pertandingan Zizan.
Ketidakpekaan Zizan akan perubahan fisik Queen, dianggap Queen sebagai hal yang baik. Zizan tidak akan khawatir dan fokusnya juga tidak terganggu.
“SEMANGAT!” dengan senyum mengembang dan tangan kepal ke atas Queen meneriakan semangat untuk Zizan.
“Gitu dong, Queen.” Tangan Zizan spontan menepuk-nepuk kepala Queen sampai menurunkan kacamata berframe kotak warna hitamnya sampai ujung hidung. Queen sontak terdiam dan mukanya memerah karena Zizan.
“Mmm .. tapi kamu harus menang ya, Zan!”
“Pasti dong. Eh hari ini nemenin latihan,
“Hah?”
Hari ini sebenarnya adalah waktu Queen untuk tes darah di rumah sakit karena perkembangan saraf matanya yang sudah semakin memburuk dan membuat kesehatannya drop seperti sekarang, tapi untuk Zizan prinsipnya adalah sampai akhir. Setelah menonton latihan kan bisa, batin Queen.
Zizan berhenti dan berpindah arah ke Queen, membetulkan kacamata Queen dan poninya yang menutupi sebagian matanya yang cokelat “Dateng lah Queen-ku, this can be my best turnament, and I want you to support me there and watch my win. Ok?”
Queen terdiam sejenak. Mereka-reka apakah ia berada dalam mimpi atau kenyataan. Kata-kata yang diucapkan Zizan barusan seperti sihir yang memberikannya kekuatan tersendiri.
“Ok!” Queen tersenyum, tidak mungkin dia tidak datang untuk Zizan. Setidaknya seperti itu lah yang sekarang ia selalu jalani, untuk Zizan.
Sepulang sekolah, ternyata sebelum Queen menghampiri motor Zizan, supirnya sudah menjemputnya terlebih dulu. Mobil Alphard hitam yang biasa dipakai mama Queen sudah terparkir di parkiran sekolah. Queen harus mengendap-endap menuju Zizan yang sudah menunggunya di depan gerbang.
Untung saja ada segerombolan anak kelas 10 yang keluar gerbang, Queen akhirnya membaur dengan gerombolan itu dan berhasil tidak kasat mata dari Pak Tarno, supir pribadinya, yang terlihat linglung mencari-cari anak tunggal majikannya. Kini Queen tinggal menunggu mamanya yang pasti menelpon sebentar lagi karena khawatir. Ngga apa-apa deh, maaf ya Ma, batin Queen.
“Ayo, Zan.”
“Pegangan, ya!” Motor Pulsar merah Zizan pun melaju dengan kencang menjauhi sekolah menuju tempat latihannya yang terakhir sebelum pertandingan. Sebenarnya Queen dilarang menaiki motor oleh mama dan papa nya, tapi karena kali ini dia tidak mungkin pergi diantar Pak Tarno, sekali-kali dangan Zizan selama hidup, kenapa tidak?
“Ketahuan baru pertama kali naik motor.” Zizan membuka pembicaraan di tengah perjalanan mereka, Queen tidak bisa mendengar dengan jelas karena Zizan melaju dengan kecepatan tinggi.
“Iya. Zan, hati-hati ya.”
“Iya, iya.”
“Queen,”
“Apa?”
“Kamu bukannya pengen banget masuk jurnalistik atau fotografi? Kenapa keras banget belajar buat SNMPTN-nya? Ngga pengen jadi dokter,
“Mama mau aku jadi Dokter, Zan. Fotografi dan jurnalistik nanti aja kalau udah jadi dokter.”
“Queen, aku saranin, kamu ikutin kata hati kamu, aku yakin kamu akan lebih bahagia kalau kamu berani untuk itu. Kamu ngerti,
“Ya.”
***
Hari ini adalah hari besar untuk Zizan, Queen sudah diingatkan berkali-kali sejak pagi untuk datang ke Stadion, karena jadwal pertandingan tim Zizan dan kawan-kawan adalah jam 7 malam. Sekarang Queen sudah siap, arloji digital Queen menunjukkan waktu tepat 18:00.
“Tinggal berangkat diantar Pak Tarno.” Sambil menyimpan SLR kesayangnnya dalam tas, Queen berjalan ke luar rumah.
Beruntung sepulang dari menemani Zizan latihan mama Queen hanya menegurnya, karena mama Queen terlalu sayang untuk menghukum anak satu-satunya tersebut.
Sebelum masuk ke mobil, Queen menyempatkan diri untuk menatap langit yang mulai meredup, kemudian ia tersenyum.
“Pak, ke Stadion Senayan.”
Di Stadion Senayan, Zizan sudah briefing dan tinggal menunggu waktu pertandingan di mulai. Dia sudah tidak sabar untuk disemangati oleh Queen dan menunggu hasil foto kemenangannya.
Pertandingan pun dimulai, tapi saat Zizan melihat ke kursi Queen, kosong. Queen tidak datang, batin Zizan. Berkali-kali Zizan mengintip tribune tempat Queen seharusnya menonton, tapi hasilnya nihil. Alhasil Zizan menjadi tidak fokus dengan permainannya, padahal ini adalah pertandingan besarnya. Hanya kemarahan yang ada dalam pikirannya. Padahal jauh di dalam hati nuraninya, kekecewaan atas ketidak hadiran Queen lah ia menjadi seperti ini.
Hasil akhir pertandingan 2:1 atas lawan. Tim Zizan tidak menang, itu disebabkan ketidak bagusan permainan Zizan yang menjadi andalan pelatihnya. Pelatih Zizan memarahinya karena berkali-kali kelepasan bola. Zizan diam saja, seperti tidak mendengar apapun. Bahkan di ruang ganti banyak teman se-timnya yang menyindir, tapi Zizan tidak bergeming.
Zizan pulang dengan membawa kekecewaan atas kekalahannya, atas keingkaran janji Queen.
“Queen, kamu bener-bener ngga datang.” Suara Zizan lirih.
Di tengah perjalanan pulang, telepon genggam Zizan berdering. Melalui earphone, karena Zizan mengendarai motor Pulsarnya, Zizan menjawab telepon tersebut.
Di tengah rintikkan hujan, sambil mendengar suara dari telepon tiba-tiba Zizan tergelincir.
***
“Wow!” Suara Xavi yang tiba-tiba, mengejutkan Queen yang sedang serius menggoyang-goyangkan kertas foto di dalam kotak cairan.
Xavi masuk ke dalam kamar rahasia Queen tanpa seizin empunya, ekspresi Xavi masi terkejut, matanya menjelajahi seluruh penjuru kamar. Queen terdiam, shock, dan speechless. Dia memutar otak, dan sadar kalau pintu kamar tersebut lupa ia kunci kembali karena terburu-buru ingin segera mencetak foto Zizan.
“Xavi. Demi apapun. Kamu. Harus. Tutup mulut.”
Xavi hanya mengangguk-angguk, tapi tatapannya masi tertuju pada deretan foto dan apapun yang merekat di penjuru dinding kamar. Queen masih belum yakin apakah Xavi benar-benar mendengarkan.
“You’re awesome, Queen! You’re cool!” Xavi mulai meraba-raba tiap foto, masih excited.
“Yes, I am.” Queen kembali fokus dengan yang dia kerjakan, merasa pasrah.
“Aku baru tau ada kamar kayak gini di rumah kamu. Eh, amplop apa nih?”
Queen masih diam. Masih fokus, dan malas menggubris Xavi. Sedangkan, Xavi masih asyik mengutak-atik barang-barang Queen.
Membaca isi amplop, Xavi terdiam.
“Ya, ya. Aku janji, tutup mulut, kan?” Setelah mendengar kata-kata Xavi tersebut, barulah Queen membalasnya dengan senyum.
“Yap!”
***
“Bukalah.” Xavi menyodorkan sebuah amplop. Kemudian Xavi berjalan keluar kamar, meninggalkan Zizan yang mulai fokus dengan amplop yang ia berikan.
Zizan sesaat berpikir apa isi amplop tersebut.
Zizan membuka amplop perlahan. Dilihatnya sebuah foto dan secarik kertas. Foto tersebut adalah sebuah foto matahari terbenam yang diambil di sebuah pantai. Dibalik foto tersebut ada beberapa baris tulisan.
Senja adalah waktu di kala matahari pergi meninggalkan bumi. Di kala sinar cerah mentari memutuskan untuk beristirahat. Di kala bumi harus menerima begitu saja untuk ditemani sang kegelapan.
Bagaimanapun, bumi tetap menunggu matahari untuk kembali meneranginya. Kembali memberikan secercah kehidupan untuk hari berikutnya. Kembali semangat untuk menerima sinar matahari yang terik.
Senja membuat bumi menunggu, menunggu matahari.
Sesaat seperti ada pukulan keras di dada Zizan. Walaupun dia belum yakin akan maksud tulisan tersebut. Kemudian Zizan beralih ke secarik kertas. Kali ini jelas bahwa kertas tersebut adalah surat yang ditulis tangan oleh Queen.
Dear Zizan
Kenapa malam terasa begitu lama, ya? Karena somehow aku cuma bisa ketemu kamu pas matahari lagi bertugas. Iya, lama-lama aku jadi benci kalo liat matahari terbenam. Ngga benci-benci amat, kok. Hehe.
“Senja membuat aku menunggu, menunggu kamu.”
Thanks Zizan,
Queen
***
“Zizan,”
“Ya?”
“Pantainya cantik, kan?”
“Iya cantik, kayak kamu.” Queen tersenyum, tapi tatapannya kosong.
Setelah dua minggu koma, mukjizat membawa Queen sadar kembali, namun saraf matanya sudah sangat lemah sehingga harus dioperasi. Sayangnya, operasi tersebut hanya memiliki peluang hampir nol. Dan Queen harus rela kehilangan penglihatannya.
“Queen,”
“Ya?”
“Makasih ya,”
“Hm?”
“Makasih udah sayang sama aku.”
“Sama-sama.”
Senja kali ini terasa begitu lama. Tapi, walaupun senja kini tidak akan pernah berakhir, aku tidak perlu menunggu lagi. Kenyataannya, matahari memang selalu menyinari bumi.
THE END
No comments:
Post a Comment