bismillah ...
Salah satu potret suasana Jogja
Keadaan seperti di atas sudah sangat jarang saya temukan di kota. Di jalan, terjadi sinkronisasi dan sinergisasi antara pengendara sepeda, sepeda motor, mobil, andong, dan becak, bahkan pejalan kaki. Ya, keadaan tersebut sudah sangat jarang saya temui di kota, tepatnya Jakarta dan sekitarnya.
Ambil mudahnya, sekarang pejalan kaki, pengendara sepeda, dan becak, di kota seperti mendapat kasta terendah di dunia keras bernama jalan. Saya salah satu penikmat motor, karena spesifikasi saya cocok dengan motor. Tapi, ada saat ketika saya memilih untuk berjalan kaki, dan keadaannya berbeda mendekati 180 derajat.
Saya memang sangat condong untuk menggunakan motor sebagai media transportasi, tapi saya menghargai benar orang lain yang memilih untuk tidak menggunakan motor seperti saya, dengan kata lain, orang lain yang lebih memilih berjalan kaki, atau mengendarai sepeda, atau yang lainnya. Aplikasi nyatanya adalah saya lebih memilih jalan yang lowong tapi berputar arah, dibanding memaksa lewat jalan pintas yang sempit dan dipenuhi oleh pejalan kaki yang berlalu-lalang. Satu sisi saya tidak bisa mengefektifkan tujuan saya memilih motor yaitu untuk mengefisiensikan waktu, sisi lain saya membahayakan pejalan kaki jika bersikeras untuk mengebut di jalan yang sesak.
Dan, menjadi pejalan kaki yang tangguh, seperti menjadi pemilik sembilan nyawa. Menjadi penduduk tidak tetap di suatu wilayah dengan infrstruktur yang tidak mendukung, dalam konteks ini adalah jalan sempit, membuat masyarakatnya terpaksa harus berhadapan dengan keadaan seperti yang sudah saya sebutkan sebelumnya. Yaitu, di suatu jalan, motor, mobil, dan pejalan kaki sama-sama ingin menggunakan jalan, dan pejalan kaki harus menjadi pihak yang paling tidak bisa tidak mengalah.
Pejalan kaki seolah dituntut menjadi pihak yang harus minggir dan memberi jalan ketika sepeda motor, mobil, atau kendaraan bermotor yang lain lewat. Terkadang, bahkan tidak jarang, psikologis mereka ditekan dengan suara klakson. Akhirnya keadaan seperti ini juga tidak jarang menghasilkan pejalan kaki yang acuh-tak-acuh ketika mendengar klakson yang bertujuan bukan untuk minta diberi jalan.
Entahlah, keadaan seperti ini tidak baik untuk terus terpelihara. Pejalan kaki dan pengendara sepeda berhak memiliki fasilitas yang aman untuk menikmati jalan. Toh, mereka yang mereduksi mudharat dari kendaraan bermotor. Saya sangat tidak tertarik pada sesuatu yang berhubungan dengan pemerintahan, atau politik, tapi sejujurnya saya mengerti benar pemerintah harus menata infrastruktur, terutama jalan dan trotoar, dengan baik dan benar. Terutama di kawasan pinggiran yang nasibnya tidak terjamah oleh pemerintah pusat.
Suasana Jogja berhasil memberikan saya harapan kalau sinkronitas dan sinergitas dari pengguna jalan itu ada. Dimana tidak ada kasta, dimana hanya ada hak-hak yang berada pada tempatnya.
Ayo, mulai dari diri sendiri :)
Menghargai, kuncinya.