Wednesday, April 25, 2012

Satu Jam Tigapuluh Menit

bismillah ...

Pagi-pagi, aku bersyukur masih bisa membukakan mata. Kemudian pikiran bercabang kemana-mana. Aku kusut sejak kemarin. Otak memerintahkan raga ini untuk pulang. Pulang ke rumah.

Melalui track yang biasa, aku melihat matahari terbit darmaga pagi ini sangat cantik. Tepat seperti kuning telur berwarna oranye, tanpa mega, hanya matahari. Aku bisa berlama-lama menatap si matahari beberapa detik. Matahari terlalu cantik untuk kekusutanku hari ini.

Jalanan sangat sepi, kemudian aku fokus kembali pada jalanan. Aku tentu saja ingat hari ini bukan hari libur, hari ini hari rabu dengan jadwal kuliah siang hingga sore, besok kamis jadwal kuliah pagi sampai siang, dan ada praktikum sampai sore. Tapi ragaku tetap menurut saja pada otak yang sudah memanggil-manggil rumah. "Aku harus ke rumah," begitulah.

Di tengah perjalanan ini, aku terus berpikir. Berpikir tentang semua pikiran yang membuat kusut, berusaha mengurainya kembali. Berpikir dari banyak sudut pandang, mungkin kekusutan ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan dilihat dari satu arah. Sudah berpikir banyak, aku kembali kepada jalanan, mencoba menikmati suasana jalan raya, menikmati hembusan angin kaya oksigen yang menusuk tulang, dan menikmati rasanya akan segera sampai ke rumah.

Jalanan bertambah padat dengan banyaknya volume kendaraan yang berbanding lurus dengan mendekatnya waktu jam kerja. Jalurku yang arahnya meninggalkan Bogor, lebih dominan padatnya. Berisi orang-orang yang ingin cepat-cepat pergi ke kota, menjemput rezeki.

Kemudian aku berpikir lagi. Mencoba memanfaatkan durasi perjalanan selama satu jam tigapuluh menit. Menyetir Legend. Kesendirian yang paling aku sukai, yang paling nyaman digunakan untuk berpikir, sendirian. Aku ingin cepat pulang ke rumah. Menyicipi masakan mama, memanggil "Mama, mama, mama" tanpa henti, dan kemudian Mama membalas "Sayang, sayang, sayang". Tidur seranjang dengan kakak yang tertidur pulas karena lelah bekerja, dengan suhu pendingin ruangan paling rendah kesukaanya, kemudian aku tidur sambil menggigil, tapi terasa hangat. Menjahili adik. Menjahili dia yang belajar di kamar, mengisolasi diri. Kemudian dia akan meninggikan suara "Kalo ada Kamay aku ngga bisa belajar!", lalu aku akan menindih tidur buku-bukunya, dan dia akan menggerutu, dan sepuluh menit kemudian aku mengalah keluar. Bermanjaan dengan Bapak, menonton tivi berdua di ruang tivi, mengomentari apa saja yang kita tonton, mengomentari suara yang keluar dari kamar adikku, apapun itu.

Kalau bisa memilih, aku ingin terus berada bersama keluarga kecil ini. Sedikit massa dengan kehangatan yang luar biasa. Dibanding bersama keramaian seperti biasa, tapi terasa dingin. Tapi pilihan tetap harus dipikirkan secara jangka panjang. Apa yang aku pilih saat ini akan berpengaruh jauh bertahun-tahun ke depan.

Kemudian aku kembali ke jalanan. Di jalan raya, tiap milidetiknya berpotensi kecelakaan. Jalan raya itu keras, kawan. Beberapa hari lalu temanku harus dijahit telunjuk kannannya karena kecelakaan, di sekitar track yang suka kulewati. Dia masih beruntung dibanding pengendara motor di depannya yang terpelanting jauh dari motornya. Sepanjang perjalanan sudah dua bangkai kucing tergelatak dijalanan yang kulihat dan juga hanya kulewati sambil meringis. Orang mana yang tega melindasnya kemudian berlalu tanpa merasa berdosa. 

Aku teringat cerita Bapak yang melindas kucing kecil dengan roda mobilnya di depan rumah, kemudian beliau turun keluar dan mengubur si kucing kecil terlebih dahulu. Kemudian melanjutkan perjalanan. Entahlah, nurani manusia kadarnya sudah berkurang, kah?

Dan, cerita ini semakin panjang. Satu jam tigapuluh menit menghasilkan cerita yang sangat panjang. Rasanya aku ingin membeli recorder, dan merekam setiap yang kupikirkan ke dalamnya.

Aku bersenandung, bernyanyi tanpa ada yang mendengar--Allah pengecualian. Rumah sudah dekat.

No comments:

Post a Comment